A Date with Al-Fatih

KhsA
5 min readMar 24, 2023

--

Sebuah cerpen Ramadhan

Illustration Picture by Phong Cảnh on Pinterest

“Kau senang dengan pemandangan indah pagi ini, bukan?”
“Bukan.”

“Lalu?”
“Aku senang dengan semua hal disini, Fatih.”

Ini adalah wilayah yang makmur. Ku kisahkan padamu. Di tempat ini persentase kemiskinan dibawah lima persen. Itu adalah angka yang akurat. Jika kamu berhasil menemukan tempat ini. Kamu akan membuktikannya sendiri. Pertanian disini makmur, maksudku bukan berarti karena lahannya yang luas dan panen raya. Itu karena, hasil panen mereka dapat dijual dengan baik di pasaran, harga yang menguntungkan, yang terpenting adalah barang-barang itu didistribusikan dengan baik kepada yang membutuhkan.

Setiap ayah pulang membeli kebutuhan dapur dari pasar, barang-barang itu terlihat baik dan segar, padahal itu dari pasar kelas B. Bagaimana keadaan pasar kelas A, ah pasti lebih bagus. Disini sebagian besar orang lulus hingga pendidikan tinggi, aku hampir tidak pernah melihat orang dengan pendidikan sampai menengah saja. Uniknya, mereka sangat bahagia dengan pendidikan yang diampu, maksudku, mereka belajar dengan sungguh-sungguh disini, jarang sekali ada anak sekolah yang mengeluhkan tugas sekolah atau benci guru dan pelajaran, apalagi kasus buli. Pengabdian yang mereka lakukan di masyarakat sangat besar. Kincir air di desa ini misalnya, itu buatan mereka. masyarakat sangat terbantu dengan adanya kincir air itu. Sawah tak kekurangan air, tanamanpun tumbuh subur hijau, membahagiakan hati pemilik maupun orang-orang yang melintas. Aku menarik nafas…

Ini dimana, batinku. Apakah ini alasan orangtuaku ingin segera pindah rumah? Jujur ini terlalu indah walau sekedar mimpi.

Sepekan lalu aku mendengar percakapan ayah dan ibu. Sekilas aku mendegar bahwa kami akan pindah rumah. Meskipun aku tak mendengar keseluruhan pembicaraan mereka, sepertinya pindah rumah kali ini harus segera dilakukan. Sebenarnya, aku sudah tidak asing dengan topik ini dalam beberapa tahun terakhir. Sejak aku masuk SMA dan adik-adikku bertumbuh besar menyusul ke bangku sekolah, ayah dan ibu sering mengingatkanku untuk membeli barang yang penting-penting saja. Tak hanya itu, bagiku tidak ada hari libur yang benar-benar seperti hari libur. Ibu selalu memberiku tugas-tugas rumah untuk dikerjakan. Begitu juga untuk adik-adikku. Tapi aku tak berani mengeluh. Karena ayah dan ibu juga tak pernah memiliki hari libur itu. Tepatnya, semua hari adalah sama, tidak ada hari yang memiliki arti libur dalam kalender mereka.

Kembali ke duniaku. Ini adalah rumahku? Ya, aku bertanya kepada diri sendiri. Apakah aku pernah memiliki rumah ini dalam hidupku. Atau, bisakah aku memiliki rumah seperti ini dalam hidupku. Rumah dengan halaman belakang yang luas. Rumah yang sepenuhnya milik kami, bukan menyewa kepada tuan sewa rumah. Rumah ini membuatku bahagia. Rasa bahagia yang begitu dalam. Aku menangis terisak, menahannya agar tak terdengar siapapun. Kakiku melangkah menuju ruang tengah. Disana ayah sedang menonton TV acara kesukaannya dan ibu sedang menikmati kue kering kesukaannya. Bukankah tidak ada TV dirumah kami. Sejak kapan ibu membeli camilan. Ibu selalu hanya membeli makanan pokok untuk tiga kali sehari makan. Ini aneh. Kami memiliki semua ini begitu tiba-tiba.

Dimana adik-adikku.

Kak, kami disini.” Itu suara adik pertamaku, Dila.

Kak, kemarilah. Kami sedang menanam melon jingga yang pernah kau ceritakan dulu.” Ima. Itu suara adik keduaku, Ima.

Aku menghampirinya. Sebuah pot bertuliskan lima huruf namaku. Kedua adikku melanjutkan pekerjaanya sambil menceritakan tanaman apa saja yang sudah mereka tanam di halaman belakang rumah ini. Aku mendengarkannya dengan antusias. Mereka bahagia sekali, aku belum pernah melihat mereka sebahagia ini. Namun tak lama kemudian kepalaku terasa pusing. Rasanya seperti memutarkan ingatan-ingatan yang acak. Apapun itu, yang jelas cerita-cerita tentang adik-adikku bermunculan mengembalikanku pada ingatan sebelumnya.

Aku ingat. Adikku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Mereka lebih sering berjualan kue-kue buatan ibu. Di pasar, di toko-toko kue tradisional, bahkan mereka membawanya untuk dijual di sekolah. Tidak, adik-adikku tidak tahu cara menanam tanaman-tanaman ini. Meskipun ada kesempatan, mereka dulu pernah gagal menanamnya. Tanah disamping rumah kami terlalu keras dan kering. Rumah. Ya, itu rumahku. Rumah sewa diatas lahan tinggi dan berbatu.

Ingatanku semakin jelas. Aku telah mengingat rumahku yang sebenarnya. Pekerjaan ayah dan ibu sehari-harinya. Apa yang seharusnya mereka kerjakan di jam-jam ini. Begitu pula adik-adikku. Mereka seharusnya baru berjalan untuk membawa kue-kue buatan ibu ke pasar. Aku tak salah ingat, ini adalah hari Ahad.

Aku. Seharusnya aku membantu ibuku membersihkan peralatan dapur setelah semalaman membuat kue-kue pesanan itu.

Dimana ibu, aku harus memastikan ini. Bagaimana mungkin perubahan ini terjadi dalam sekejap.

Aku segera berlari ke ruang tengah. Menemui ibu.

Ibu, ibu. Apa yang harus Fatih kerjakan? Apa yang bisa Fatih bantu untuk Ibu?

Oh, Fatih. Ini kan hari libur, kamu seharusnya liburan, Nak. Lihat adik-adikmu. Mereka sudah menanam-nanam di belakang sana. Kamu ikutlah mereka.”

Ibu. Tapi, bagaimana mungkin..?”

Ah, sudah. Atau kamu jalan-jalan dulu. Melihat pemandangan sekitar rumah.”

Pemandangan…?

Pertanyaanku terhenti. Sebenarnya, daripada menanyakan tugasku hari ini, aku ingin menanyakan, apakah ini benar-benar rumah baru kami, apakah mulai saat ini kami akan memiliki rumah tetap dan tidak akan berpindah-pindah seperti sebelumnya. Apakah semua ini nyata. Bagaimana mungkin bisa.

Ya, itu poinnya. Apakah ini nyata?

Aku mencoba menenagkan fikiran dan memikirkan semua ini dengan lebih baik. Mungkin ada baiknya melihat-lihat sekitaran rumah ini seperti kata ibu.

Aku membuka pintu gerbang. Aku menyergah, rumah ini memiliki pintu gerbang, bahkan besar dan berukiran indah. Aku melanjutkan tujuan. Melangkahan kaki keluar. Menatap ke kiri dan kanan. Ini pemandangan yang…

Ini seperti bukan di dunia biasa, maksudku, jika dunia seperti ini ada, mungkinkah ini di negara-negara dengan padang rumput hijaunya yang terkenal itu. Ini begitu indah.

Seperti melintasi pintu ajaib. Pemandangan di depanku seperti menuju tempat yang jauh dalam sekejap. Baru lima langkah kedepan, rasanya sudah melewati puluhan meter jauhnya. Ini aneh. Meskipun begitu, decap kagumku berkembang di dada. Bagaimana mungkin pemandangan seindah ini ada di depan mata. Sebuah hamparan luas hijau dengan beberapa jalanan berbukit, berbunga-bunga. Tak salah, itu adalah bunga-bunga rumput yang sedang merekah, berwarna putih, tersentuh dengan semilir angin dan embun pagi. Cahaya matahari menimpanya. Suasana yang sejuk sekaligus menghangatkan hati. Lama sekali aku sudah tidak melihat pemandangan seperti ini.

Fatih.” Seseorang memanggilku.

Aku menoleh. Aku tak mengenalinya. Belum pernah kulihat orang ini dalam hidupku.

“Kau senang dengan pemandangan indah pagi ini, bukan?”

“Bukan.”

Siapa dia. Mengapa aku menjawabnya. Seharusnya aku tidak berbicara dengan orang asing. Terlebih, dia bukan keluargaku, bukan mahramku.

“Lalu?” Entah bagaimana bisa terjadi, kali ini aku yang bertanya tanpa sempat memikirkan mengapa aku harus bertanya.

“Aku senang dengan semua hal disini, Fatih”. Ia menjawabnya dengan senyum tipis, hanya menatap ke depan.

Hah. Siapa dia. Mengapa dia mengenaliku.

bersambung…

--

--

KhsA
KhsA

Written by KhsA

1) Pemula bercerita. 2)Menulislah walau hanya seperti ini. 3) Setelah membaca, maka menulis.

No responses yet